Rabu, 16 Juni 2010

Sekilas tentang Konservasi Alam dalam Islam


Manusia diciptakan Allah SWT, dengan maksud sebagai khalifah di muka bumi. Manusia diberi hak prerogatif dan otokrasi manusia atas apa yang ada di alam. Sebagai khalifah, manusia oleh Allah SWT dibekali dengan ajaran-ajaran yang membawa umat manusia menuju kemuliaan hidup di dunia dan akhirat. Ajaran itu tertuang dalam teologi Islam berhakekat rahmatan lil ‘alamin, hadir sebagai ajaran yang memberi rahmat bagi alam semesta. Termasuk bagi pemeluknya berarti berjuang, beribadah dan beraktivitas di muka bumi sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam. Memberi kepeloporan dan ketauladanan atas berbagai sendi kehidupan.

Indonesia sebagai bangsa yang besar dengan kelimpahan sumber daya alam dan hayati, saat ini mempunyai problem serius dengan hadirnya kerusakan ekologi yang kian hari kian runyam. Ribuan spesies hewan dan tumbuhan per tahun musnah dan hilang. Pembalakan liar terhadap hutan pun juga mengakibatkan deforestasi 2-2,5 juta hektar per tahun. Ratusan jenis satwa dan tumbuhan terlindungi oleh undang-undang juga raib. Artinya, Indonesia yang selama ini dikenal dengan negara mega biodiversity kedua setelah Brazil, barangkali akan tinggal romantisme belaka.

Dalam kerangka optimisme atas kekhawatiran itu, maka jelas diperlukan sebuah upaya konprehensif yang didikuti oleh gerakan untuk melakukan konservasi alam. Untuk itu, buku Konservasi Alam dalam Islam, oleh Fachrudin M. Mangunjaya ini setidaknya menjadi oase awal sebagai mukaddimah mengurai kusutnya kondisi ekologi dan upaya konservasi alam di negeri ini. Sebab, konservasi alam kita masih stagnan berada pada konsep, melindungi, melestarikan dan memanfaatkan (3M). dengan sebuah realita masih rendahnya jaminan atas kepunahan 515 jenis mamalia, 121 jenis kupu-kupu, 600 spesies binatang melata,1519 jenis burung serta 270 jenis amfibia.

Menurut Fachrudin M.Mangunjaya, persoalan krusial yang harus diluruskan adalah pola pikir,pola aktivitas dan pola konsumsi atau gaya hidup (Life style)manusia atas alamnya. Manusia Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam setidaknya mampu mewujudkan tesa ini jika mereka memahami betul dan melaksanakan apa yang di ajarkan Islam. Sebab syariat Islam memberi landasan atas penguasaan bumi yang harus sesuai dnegan nilai-nilai dan fitrahnya, yaitu sebuah keseimbangan. Jika syariat tidak lagi jadi landasan untuk berpijak dan beraktivitas di muka bumi maka akan terjadi kefatalan.

Kefatalan itu oleh Allah dijelaskan dalam firman-Nya, (Q.S:23/71), “kalau sekiranya kebenaran mengikuti hawa nafsu mereka niscaya binasahlah langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya,”.Inilah gambaran bagaimana syariat seharusnya memberi ikatan bagi pemeluknya sebagai sebuah sistem untuk mengikat dan memberi. Mengikat umat manusia untuk tidak melakukan kerusakan dan eksploitasi sumber daya alam secara semena-mena. Memberi adalah tujuan universal dari syariat, yaitu, kesejahteraan umum bagi setiap manusia.

Uniknya, yang terjadi saat ini adalah anomali-anomali cultural dan spiritual dalam melestarikan lingkungan hidup. Ragam kultur telah tidak termanfaatkan serta tauhid atas alam sebagai nilai-nilai pelurus pun dilupakan dalam hubungan manusia atas alamnya. Ragam kultur yang memunculkan biosentrisme dan ekosentrisme luntur oleh antrophosentrisme buah dari liberalisme dan peradaban modern. Kosmosentris yang seharusnya dituangi tauhid dan nilai etik religius juga terlupakan. Justru syariat Islam yang memberi nilai-nilai yang pernah terjuriprudensi dikikis oleh hokum-hukum sekuler.

Selanjutnya rendahnya pertautan tauhid (sebagai kunci Syariah Islam) pemeluknya untuk hal-hal duniawi, karena asyik dengan tauhid untuk orientasi ukhrowi pun menjadi dilema. Padahal, tauhid Islam mengajarkan bagi pemeluk agama Islam bahwa melakukan perusakan ekologi di muka bumi adalah dilarang. Praktik kebanyakan umat hari ini telah banyak terpengaruh oleh pikiran sekuler yang jauh menyimpang dari syariat.

Bertauhid dalam Islam akan meluruskan epistemologi hidup manusia di bumi sebagai khalifah Allah. Sebab, sebagai khalifah di muka bumi manusia mempunyai otoritas dan “preorigatif” dalam memelihara maupun mencelakakan lingkungan hidup. “Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang yang ada diantara keduanya dengan bermain-main.(Q.s;44:38). Manusia yang bertauhid memandang firman allah itu adalah amanah untuk dijalankan di muka bumi. Pun sangat ironis jika warga negara yang seorang muslim mem[unyai misi sebagai pembawa rahmat atas alam semesta, dengan risalah membawa perbaikan terhadap bumi, ternyata justru menjadi penyebab destruksi ekologis dan hilangnya spesies yang ada di muka bumi.

Padahal, Islam telah memberi perspektif bagaimana akhlaq terhadap hidupan liar, konteks ini, Fachruddin, menggambarkan bahwa hidupan liar mempunyai peran penting dalam penyelenggaraan alam yang harmonis. Sebab, masing-masing hidupan liar mempunyai peran interaktif terhadap kelestarian ekosistem. Sehingga, memelihara hiodupan liar yang berstatus langka dengan sendirinya akan mengurangi populasi mereka. Berarti manusia punya andil besar dsalam kelestarian maupun kepunahan (hal.50). dengan demikian setidaknya akhal atas hidupan liar harus menjadi pondasi untuk melakukan konservasi atas habitat satwa langka. Minimal manusia dan khususnya umat Islam harus menghargai hak azasi hewan. “Jangan kamu menjadikan sesuatu yang mempunyai roh itu sebagai obyek (sasaran).”(HR.Muslim).

Selain itu Islam memberi ajaran dalam upaya melindungi populasi spesies liar diperlukan lahan utnuk habitat asli mereka secara utuh atau yang disebut dengan Hima’.Dalam perspektif kontemporer bisa berupa taman nasional, cagar alam dan sebagainya. Upaya lain adalah dengan menghidupkan tanah yang mati (ihya al-mawat) yang juga satu khasanah hokum Islam. Kontekstualisasi konsep syariat Islam ini terimplementasi harusnya pada lahan-lahan yang telantar di Kalimantan dan Sumatera. Lebih dari itu, problem krusial yang menyimpang dari syariat adalah pola konsumsi yang mengatasnamakan nafsu bukan lagi fitrah. Teas ini laik atas dasar maraknya perdagangan dan pemburuan hidupan liar di alam. Salah satu faktornya adalah disamarkannya hokum syariat halal dan haram untuk kepentingan nafsu. Padahal, Islam telah jelas memberi batasan halal dan haram.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar