Rabu, 16 Juni 2010

Perkembangan Sosial Dan Kebudayaan Indonesia


Setiap kehidupan di dunia ini tergantung pada kemampuan beradaptasi terhadap lingkungannya dalam arti luas. Akan tetapi berbeda dengan kehidupan lainnya, manusia membina hubungan dengan lingkungannya secara aktif. Manusia tidak sekedar mengandalkan hidup mereka pada kemurahan lingkungan hidupnya seperti ketika Adam dan Hawa hidup di Taman Firdaus. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengelola lingkungan dan mengolah sumberdaya secara aktif sesuai dengan seleranya. Karena itulah manusia mengembangkan kebiasaan yang melembaga dalam struktur sosial dan kebudayaan mereka. Karena kemampuannya beradaptasi secara aktif itu pula, manusia berhasil menempatkan diri sebagai makhluk yang tertinggi derajatnya di muka bumi dan paling luas persebarannya memenuhi dunia.

Di lain pihak, kemampuan manusia membina hubungan dengan lingkungannya secara aktif itu telah membuka peluang bagi pengembangan berbagai bentuk organisasi dan kebudayaan menuju peradaban. Dinamika sosial itu telah mewujudkan aneka ragam masyarakat dan kebudayaan dunia, baik sebagai perwujudan adaptasi kelompok sosial terhadap lingkungan setempat maupun karena kecepatan perkembangannya.

MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN INDONESIA

Dinamika sosial dan kebudayaan itu, tidak terkecuali melanda masyarakat Indonesia, walaupun luas spektrum dan kecepatannya berbeda-beda. Demikian pula masyarakat dan kebudayaan Indonesia pernah berkembang dengan pesatnya di masa lampau, walaupun perkembangannya dewasa ini agak tertinggal apabila dibandingkan dengan perkembangan di negeri maju lainnya. Betapapun, masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang beranekaragam itu tidak pernah mengalami kemandegan sebagai perwujudan tanggapan aktif masyarakat terhadap tantangan yang timbul akibat perubahan lingkungan dalam arti luas maupun pergantian generasi.

Ada sejumlah kekuatan yang mendorong terjadinya perkembangan sosial budaya masyarakat Indonesia. Secara kategorikal ada 2 kekuatan yang mmicu perubahan sosial, Petama, adalah kekuatan dari dalam masyarakat sendiri (internal factor), seperti pergantian generasi dan berbagai penemuan dan rekayasa setempat. Kedua, adalah kekuatan dari luar masyarakat (external factor), seperti pengaruh kontak-kontak antar budaya (culture contact) secara langsung maupun persebaran (unsur) kebudayaan serta perubahan lingkungan hidup yang pada gilirannya dapat memacu perkembangan sosial dan kebudayaan masyarakat yang harus menata kembali kehidupan mereka .

Betapapun cepat atau lambatnya perkembangan sosial budaya yang melanda, dan factor apapun penyebabnya, setiap perubahan yang terjadi akan menimbulkan reaksi pro dan kontra terhadap masyarakat atau bangsa yang bersangkutan. Besar kecilnya reaksi pro dan kontra itu dapat mengancam kemapanan dan bahkan dapat pula menimbulkan disintegrasi sosial terutama dalam masyarakat majemuk dengan multi kultur seperti Indonesia.

PERKEMBANGAN SOSIAL DAN KEBUDAYAAN DEWASA INI

Masyarakat Indonesia dewasa ini sedang mengalami masa pancaroba yang amat dahsyat sebagai akibat tuntutan reformasi secara menyeluruh. Sedang tuntutan reformasi itu berpangkal pada kegiatan pembangunan nasional yang menerapkan teknologi maju untuk mempercepat pelaksanaannya. Di lain pihak, tanpa disadari, penerapan teknologi maju itu menuntut acuan nilai-nilai budaya, norma-norma sosial dan orientasi baru. Tidaklah mengherankan apabila masyarakat Indonesia yang majemuk dengan multi kulturalnya itu seolah-olah mengalami kelimbungan dalam menata kembali tatanan sosial, politik dan kebudayaan dewasa ini.

Penerapan teknologi maju

Penerapan teknologi maju untuk mempercepat pebangunan nasional selama 32 tahun yang lalu telah menuntut pengembangan perangkat nilai budaya, norma sosial disamping ketrampilan dan keahlian tenagakerja dengn sikap mental yang mendukungnya. Penerapan teknologi maju yang mahal biayanya itu memerlukan penanaman modal yang besar (intensive capital investment); Modal yang besar itu harus dikelola secara professional (management) agar dapat mendatangkan keuntungan materi seoptimal mungkin; Karena itu juga memerlukan tenagakerja yang berketrampilan dan professional dengan orientasi senantiasa mengejar keberhasilan (achievement orientation).

Tanpa disadari, kenyataan tersebut, telah memacu perkembangan tatanan sosial di segenap sector kehidupan yang pada gilirannya telah menimbulkan berbagai reaksi pro dan kontra di kalangan masyarakat. Dalam proses perkembangan sosial budaya itu, biasanya hanya mereka yang mempunyai berbagai keunggulan sosial-politik, ekonomi dan teknologi yang akan keluar sebagai pemenang dalam persaingan bebas. Akibatnya mereka yang tidak siap akan tergusur dan semakin terpuruk hidupnya, dan memperlebar serta memperdalam kesenjangan sosial yang pada gilirannya dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang memperbesar potensi konflik sosial.dalam masyarakat majemuk dengan multi kulturnya.

Keterbatasan lingkungan (environment scarcity)

Penerapan teknologi maju yang mahal biayanya cenderung bersifat exploitative dan expansif dalam pelaksanaannya. Untuk mengejar keuntungan materi seoptimal mungkin, mesin-mesin berat yang mahal harganya dan beaya perawatannya, mendorong pengusaha untuk menggunakannya secara intensif tanpa mengenal waktu. Pembabatan dhutan secara besar-besaran tanpa mengenal waktu siang dan malam, demikian juga mesin pabrik harus bekerja terus menerus dan mengoah bahan mentah menjadi barang jadi yang siap di lempar ke pasar. Pemenuhan bahan mentah yang diperlukan telah menimbulkan tekanan pada lingkungan yang pada gilirannya mengancam kehidupan penduduk yang dilahirkan, dibesarkan dan mengembangkan kehidupan di lingkungan yang di explotasi secara besar-besaran.

Di samping itu penerapan teknologi maju juga cenderung tidak mengenal batas lingkungan geografik, sosial dan kebudayaan maupun politik. Di mana ada sumber daya alam yang diperlukan untuk memperlancar kegiatan industri yang ditopang dengan peralatan modern, kesana pula mesin-mesin modern didatangkan dan digunakan tanpa memperhatikan kearifan lingkungan (ecological wisdom) penduduk setempat.

Ketimpangan sosial-budaya antar penduduk pedesaan dan perkotaan ini pada gilirannya juga menjadi salah satu pemicu perkembangan norma-norma sosial dan nilai-nilai budaya yang befungsi sebagai pedoman dan kerangka acuan penduduk perdesaan yang harus nmampu memperluas jaringan sosial secara menguntungkan. Apa yang seringkali dilupakan orang adalah lumpuhnya pranata sosial lama sehingga penduduk seolah-olahkehilangan pedoman dalam melakukan kegiatan. Kalaupun pranata sosial itu masih ada, namun tidak berfungsi lagi dalam menata kehidupan pendudduk sehari-hari. Seolah-olah terah terjadi kelumpuhan sosial seperti kasus lumpur panas Sidoarjo, pembalakan liar oleh orang kota, penyitaan kayu tebangan tanpa alas an hokum yang jelas, penguasaan lahan oleh mereka yang tidak berhak.

Kelumpuhan sosial itu telah menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan dan berlanjut dengan pertikaian yang disertai kekerasan ataupun amuk.

PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN

Sejumlah peraturan dan perundang-undangan diterbitkan pemerintah untuk melindungi hak dan kewajiban segenap warganegara, seperti UU Perkawinan monogamous, pengakuan HAM dan pengakuan kesetaraan gender serta pengukuhan “personal, individual ownership” atas kekayaan keluarga mulai berlaku dan mempengaruhi sikap mental penduduk dengan segala akibatnya.

PENDIDIKAN

Kekuatan perubahan yang sangat kuat, akan tetapi tidak disadari oleh kebanyakan orang adalah pendidikan. Walaupun pendidikan di manapun merupakan lembaga ssosial yang terutama berfungsi untuk mempersiapkan anggotanya menjadi warga yang trampil dan bertanggung jawab dengan penanaman dan pengukuhan norma sosial dan nilai-nilai budaya yang berlaku, namun akibat sampingannya adalah membuka cakrawala dan keinginan tahu peserta didik. Oleh karena itulah pendidikan dapat menjadi kekuatan perubahan sosial yang amat besar karena menumbuhkan kreativitas peserta didik untuk mengembangkan pembaharuan (innovation).

Di samping kreativitas inovatif yang membekali peserta didik, keberhasilan pendidikan menghantar seseorang untuk meniti jenjang kerja membuka peluang bagi mobilitas sosial yang bersangkutan. Pada gilirannya mobilitas sosial untuk mempengaruhi pola-pola interaksi sosial atau struktur sosial yang berlaku. Prinsip senioritas tidak terbatas pada usia, melainkan juga senioritas pendidikan dan jabatan yang diberlakukan dalam menata hubungan sosial dalam masyarakat.

Dengan demikian pendidikan sekolah sebagai unsur kekuatan perubahan yang diperkenalkan dari luar, pada gilirannya menjadi kekuatan perubahan dari dalam masyarakat yang amat potensial. Bahkan dalam masyarakat majemuk Indonesia dengan multi kulturnya, pendidikan mempunyai fungsi ganda sebagai sarana integrasi bangsa yang menanamkan saling pengertian dan penghormatan terhadap sesama warganegara tanpa membedakan asal-usul dan latar belakang sosial-budaya, kesukubangsaan, keagamaan, kedaerahan dan rasial. Pendidikan sekolah juga dapat berfungsi sebagai peredam potensi konflik dalam masyarakat majemuk dengan multi kulurnya, apabila diselenggarakan dengan benar dan secara berkesinambungan.

Di samping pendidikan, penegakan hukum diperlukan untuk menjain keadilan sosial dan demokratisasi kehidupan berbangsa dalam era reformasi yang memicu perlembangan sosial-budaya dewasa ini. Kebanyakan orang tidak menyadari dampak sosial reformasi, walaupun mereka dengan lantangnya menuntut penataan kembali kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sesungguhnya reformasi mengandung muatan perubahan sosial-budaya yang harus diantisipasi dengan kesiapan masyarakat untuk menerima pembaharuan yang seringkali menimbulkan ketidak pastian dalam prosesnya.

Tanpa penegakan hukum secara transparan dan akuntabel, perkembangan sosial-budaya di Indonesia akan menghasilkan bencana sosial yang lebih parah, karena hilangnya kepercayaan masyarakat akan mendorong mereka untuk bertindak sendiri sebagaimana nampak gejala awalnya dewasa ini. Lebih berbahayalagi kalau gerakan sosial itu diwarnai kepercayaan keagamaan, seperti penatian datangnya ratu adil dan gerakan pensucian (purification) yang mengharamkan segala pembaharuan yang dianggap sebagai “biang” kekacauan.

Betapaun masyarakat harus siap menghadapi perubahan sosial budaya yang diniati dan mulai dilaksanakan dengan reformasi yang mengandung makna perkembangan ke arah perbaikan tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.


Sekilas tentang Konservasi Alam dalam Islam


Manusia diciptakan Allah SWT, dengan maksud sebagai khalifah di muka bumi. Manusia diberi hak prerogatif dan otokrasi manusia atas apa yang ada di alam. Sebagai khalifah, manusia oleh Allah SWT dibekali dengan ajaran-ajaran yang membawa umat manusia menuju kemuliaan hidup di dunia dan akhirat. Ajaran itu tertuang dalam teologi Islam berhakekat rahmatan lil ‘alamin, hadir sebagai ajaran yang memberi rahmat bagi alam semesta. Termasuk bagi pemeluknya berarti berjuang, beribadah dan beraktivitas di muka bumi sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam. Memberi kepeloporan dan ketauladanan atas berbagai sendi kehidupan.

Indonesia sebagai bangsa yang besar dengan kelimpahan sumber daya alam dan hayati, saat ini mempunyai problem serius dengan hadirnya kerusakan ekologi yang kian hari kian runyam. Ribuan spesies hewan dan tumbuhan per tahun musnah dan hilang. Pembalakan liar terhadap hutan pun juga mengakibatkan deforestasi 2-2,5 juta hektar per tahun. Ratusan jenis satwa dan tumbuhan terlindungi oleh undang-undang juga raib. Artinya, Indonesia yang selama ini dikenal dengan negara mega biodiversity kedua setelah Brazil, barangkali akan tinggal romantisme belaka.

Dalam kerangka optimisme atas kekhawatiran itu, maka jelas diperlukan sebuah upaya konprehensif yang didikuti oleh gerakan untuk melakukan konservasi alam. Untuk itu, buku Konservasi Alam dalam Islam, oleh Fachrudin M. Mangunjaya ini setidaknya menjadi oase awal sebagai mukaddimah mengurai kusutnya kondisi ekologi dan upaya konservasi alam di negeri ini. Sebab, konservasi alam kita masih stagnan berada pada konsep, melindungi, melestarikan dan memanfaatkan (3M). dengan sebuah realita masih rendahnya jaminan atas kepunahan 515 jenis mamalia, 121 jenis kupu-kupu, 600 spesies binatang melata,1519 jenis burung serta 270 jenis amfibia.

Menurut Fachrudin M.Mangunjaya, persoalan krusial yang harus diluruskan adalah pola pikir,pola aktivitas dan pola konsumsi atau gaya hidup (Life style)manusia atas alamnya. Manusia Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam setidaknya mampu mewujudkan tesa ini jika mereka memahami betul dan melaksanakan apa yang di ajarkan Islam. Sebab syariat Islam memberi landasan atas penguasaan bumi yang harus sesuai dnegan nilai-nilai dan fitrahnya, yaitu sebuah keseimbangan. Jika syariat tidak lagi jadi landasan untuk berpijak dan beraktivitas di muka bumi maka akan terjadi kefatalan.

Kefatalan itu oleh Allah dijelaskan dalam firman-Nya, (Q.S:23/71), “kalau sekiranya kebenaran mengikuti hawa nafsu mereka niscaya binasahlah langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya,”.Inilah gambaran bagaimana syariat seharusnya memberi ikatan bagi pemeluknya sebagai sebuah sistem untuk mengikat dan memberi. Mengikat umat manusia untuk tidak melakukan kerusakan dan eksploitasi sumber daya alam secara semena-mena. Memberi adalah tujuan universal dari syariat, yaitu, kesejahteraan umum bagi setiap manusia.

Uniknya, yang terjadi saat ini adalah anomali-anomali cultural dan spiritual dalam melestarikan lingkungan hidup. Ragam kultur telah tidak termanfaatkan serta tauhid atas alam sebagai nilai-nilai pelurus pun dilupakan dalam hubungan manusia atas alamnya. Ragam kultur yang memunculkan biosentrisme dan ekosentrisme luntur oleh antrophosentrisme buah dari liberalisme dan peradaban modern. Kosmosentris yang seharusnya dituangi tauhid dan nilai etik religius juga terlupakan. Justru syariat Islam yang memberi nilai-nilai yang pernah terjuriprudensi dikikis oleh hokum-hukum sekuler.

Selanjutnya rendahnya pertautan tauhid (sebagai kunci Syariah Islam) pemeluknya untuk hal-hal duniawi, karena asyik dengan tauhid untuk orientasi ukhrowi pun menjadi dilema. Padahal, tauhid Islam mengajarkan bagi pemeluk agama Islam bahwa melakukan perusakan ekologi di muka bumi adalah dilarang. Praktik kebanyakan umat hari ini telah banyak terpengaruh oleh pikiran sekuler yang jauh menyimpang dari syariat.

Bertauhid dalam Islam akan meluruskan epistemologi hidup manusia di bumi sebagai khalifah Allah. Sebab, sebagai khalifah di muka bumi manusia mempunyai otoritas dan “preorigatif” dalam memelihara maupun mencelakakan lingkungan hidup. “Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang yang ada diantara keduanya dengan bermain-main.(Q.s;44:38). Manusia yang bertauhid memandang firman allah itu adalah amanah untuk dijalankan di muka bumi. Pun sangat ironis jika warga negara yang seorang muslim mem[unyai misi sebagai pembawa rahmat atas alam semesta, dengan risalah membawa perbaikan terhadap bumi, ternyata justru menjadi penyebab destruksi ekologis dan hilangnya spesies yang ada di muka bumi.

Padahal, Islam telah memberi perspektif bagaimana akhlaq terhadap hidupan liar, konteks ini, Fachruddin, menggambarkan bahwa hidupan liar mempunyai peran penting dalam penyelenggaraan alam yang harmonis. Sebab, masing-masing hidupan liar mempunyai peran interaktif terhadap kelestarian ekosistem. Sehingga, memelihara hiodupan liar yang berstatus langka dengan sendirinya akan mengurangi populasi mereka. Berarti manusia punya andil besar dsalam kelestarian maupun kepunahan (hal.50). dengan demikian setidaknya akhal atas hidupan liar harus menjadi pondasi untuk melakukan konservasi atas habitat satwa langka. Minimal manusia dan khususnya umat Islam harus menghargai hak azasi hewan. “Jangan kamu menjadikan sesuatu yang mempunyai roh itu sebagai obyek (sasaran).”(HR.Muslim).

Selain itu Islam memberi ajaran dalam upaya melindungi populasi spesies liar diperlukan lahan utnuk habitat asli mereka secara utuh atau yang disebut dengan Hima’.Dalam perspektif kontemporer bisa berupa taman nasional, cagar alam dan sebagainya. Upaya lain adalah dengan menghidupkan tanah yang mati (ihya al-mawat) yang juga satu khasanah hokum Islam. Kontekstualisasi konsep syariat Islam ini terimplementasi harusnya pada lahan-lahan yang telantar di Kalimantan dan Sumatera. Lebih dari itu, problem krusial yang menyimpang dari syariat adalah pola konsumsi yang mengatasnamakan nafsu bukan lagi fitrah. Teas ini laik atas dasar maraknya perdagangan dan pemburuan hidupan liar di alam. Salah satu faktornya adalah disamarkannya hokum syariat halal dan haram untuk kepentingan nafsu. Padahal, Islam telah jelas memberi batasan halal dan haram.


PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM



Perlindungan hutan dan konservasi alam merupakan seluruh upaya untuk melindungi eksistensi kawasan dan sumberdaya hutan, melakukan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan, konservasi kawasan dan keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya, serta mengembangkan wisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan.

PERLINDUNGAN HUTAN

Perlindungan terhadap kawasan hutan diarahkan untuk mempertahankan eksistensi kawasan hutan dan keanekaragaman hayatinya serta menjaga agar peranan hutan sebagai sistem penyangga kehidupan dapat terus berlangsung.

Selama tahun 2005, telah tercatat berbagai gangguan yang mengancam eksistensi dan kondisi kawasan hutan. Gangguan berupa penyerobotan kawasan hutan oleh masyarakat mencapai luasan 19.527,91 hektar, sedangkan gangguan terhadap tegakan hutan berupa penebangan ilegal diperkirakan telah meng-akibatkan kehilangan kayu ±686.353,01 M3 kayu bulat.

Sebagaimana dilaporkan oleh pemerintah daerah/UPT, kebakaran melanda kawasan hutan seluas ± 5.502,47 Ha. Namun demikian, karena adanya kendala dalam memperkirakan luasan kawasan yang terbakar, diyakini bahwa angka tersebut lebih kecil dari kenyataan lapangan yang sebenarnya. Berbagai upaya pencegahan telah dilakukan, antara lain dengan mendeteksi titik api, dimana pada tahun 2005 dideteksi sebanyak 37.896 titik api.

Upaya lain yang dilaksanakan untuk melindungi kawasan hutan, Departemen Kehutanan telah melaksanakan berbagai kegiatan yang bersifat pengembangan dan pemberdayaan masyarakat serta upaya penegakan hukum.

Sarana dan prasarana pengamanan hutan meliputi sarana pengamanan berupa senjata api beserta amunisinya, senjata bius, borgol, sangkur dan lemari senjata api sebanyak 600 unit; sarana angkutan terdiri dari kendaraan roda 4 sebanyak 299 unit, roda 2 sebanyak 853 unit, speed boat 114 unit dan motor tempel 53 unit; sarana komunikasi berupa handy talky (HT) sebanyak 929 unit dan Radio SSB 72 unit.

Sampai dengan akhir tahun 2005, tenaga pengamanan hutan terdiri dari Polisi Kehutanan (Polhut) sebanyak 7.956 orang, Perwira Pembina Polisi Kehutanan (PABIN) 180 orang, Penyidik Pegawai Negeri Sipil 1.742 orang, satpam HPH 1.149 orang dan Tenaga Pengamanan Hutan Lainnya (TPHL) sebanyak 38 orang.

KONSERVASI KAWASAN

Berdasarkan UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya. Kawasan hutan konservasi dibedakan menjadi Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Taman Buru.

Kawasan Suaka Alam adalah hutan yang dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah penyangga kehidupan. Termasuk dalam kategori kawasan ini ialah Cagar Alam (CA) dan Suaka Margasatwa. Kedua kategori kawasan tersebut dilindungi secara ketat, sehingga tidak boleh ada sedikitpun campur tangan manusia dalam proses-proses alami yang terjadi di dalam kawasan tersebut; kawasan ini hanya diperuntukkan bagi keperluan ilmu pengetahuan dan pendidikan. Saat ini terdapat 241 unit Cagar Alam Darat dengan total luas 4.524.848,92 hektar, dan 8 unit Cagar Alam perairan dengan luas sekitar 404.020 hektar; sedangkan Suaka Margasatwa darat sebanyak 71 unit dengan luas 5.004.629,74 hektar, 5 unit Suaka perairan dengan luas sekitar 337.750 hektar.

Kawasan Pelestarian Alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Termasuk ke dalam kategori kawasan ini adalah Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Hutan Raya.

Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli yang dikelola dengan sistem zonasi untuk keperluan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya tumbuhan dan/atau satwa, pariwisata, dan rekreasi. Dewasa ini telah ada 43 unit Taman Nasional Darat dengan luas 12.330.204,61 hektar, dan 7 unit Taman Nasional Laut dengan luas 4.045.048,70 hektar.

Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. Saat ini terdapat 105 unit Taman Wisata Alam Darat dengan total luas sekitar 271.224,51 hektar, dan 19 Taman Wisata Laut dengan total luas sekitar 770.120,70 hektar.

Taman Hutan Raya merupakan kawasan pelestarian alam yang ditetapkan untuk tujuan koleksi tumbuh-tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau bukan alami, dari jenis asli atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya tumbuhan dan/atau satwa, budaya, pariwisata, dan rekreasi. Saat ini terdapat 21 unit Taman Hutan Raya dengan luas total sekitar 347.427,34 hektar.

Taman Buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata buru. Saat ini terdapat 14 unit Taman Buru dengan total luas sekitar 224.816,04 hektar.

KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI

Keanekaragaman hayati yang dikandung sumberdaya hutan dan perairan di Indonesia termasuk sangat tinggi dan sebagian bersifat endemik, sehingga Indonesia disebut sebagai negara megabiodiversity. Berdasarkan hasil-hasil penelitian, keanekaragaman hayati Indonesia terdiri dari : Mamalia 515 species (12 % dari jenis mamalia dunia), reptilia 511 jenis (7,3 % dari jenis reptilia dunia), burung 1.531 jenis (17 % dari jenis burung dunia), ampibi 270 jenis, binatang tak bertulang belakang 2.827 jenis dan tumbuhan sebanyak ± 38.000 jenis, diantaranya 1.260 jenis yang bernilai medis (fitofarmaka).

Sampai dengan akhir tahun 2005, Departemen Kehutanan telah menetapkan jenis flora dan fauna yang dilindungi adalah : mamalia (127 jenis), burung (382 jenis), reptilia (31 jenis), ikan (9 jenis), serangga (20 jenis), moluska (12 jenis), krustasea (2 jenis), anthozoa (1 jenis) dan bivalvia (12 jenis).

Sebagai salah satu upaya untuk menangani perdagangan flora dan fauna yang mendekati kepunahan, Indonesia telah menandatangani konvensi CITES dan mendaftarkan sejumlah 1.053 jenis flora dan 1.384 jenis fauna ke dalam Appendix I dan II.

EKSPOR SATWA DAN TUMBUHAN

Pada tahun 2005, ekspor satwa liar antara lain sarang burung walet, koral, kulit buaya dan ikan arowana, menghasilkan penerimaan negara sekitar 15,29 juta US dollar. Dari jumlah penerimaan tersebut, penerimaan terbesar diperoleh dari ekspor sarang burung walet yaitu sebesar 10,69 juta US dollar.

Penerimaan ekspor beberapa jenis tumbuhan, diantaranya anggrek, gaharu dan ramin menghasilkan penerimaan sebesar 1,45 juta US Dollar.